Kamis, 18 September 2014
PASURUAN punya cerita
Berbicara tentang kota Pasuruan, orang selalu menghubungkan dengan Untung Suropati,
Pasuruan I, Pasuruan II, Darmoyudo I, Darmoyudo II, dan itu tidak lebih pada periode setelah Sultan Agung menguasai Pasuruan pada abad 17. Padahal bukti-bukti peninggalan sejarah telah dicatat oleh peneliti sejarah seperti Denys Lombard, H,J.De Graff, Raffles, Wiliam Remli…ng, dan lain-lain, bahwa nama sebuah wilayah kota yang bernama Pasuruan itu telah ada kurang lebih pada abad ke-9.
Pertanyaan-pertanyaan budaya seperti; mengapa kerajinan kayu, kerajinan ‘gerabah’ (tembikar), jenis makanan, komunitas yang ‘santri’, ke-bahasa-an di wilayah-wilayah Petahunan, Bukir, Krapyak, Randusari, Gentong mempunyai kesamaan dengan budaya Kudus, Demak, Jepara? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut sebetulnya dapat menuntun kita menuju kepada akar sejarah awal mula kota Pasuruan.
Ada paradoks besar mengenahi jati-diri kota Pasuruan. Rachmat Jatmiko menulis pada halaman 557 dalam sub-bab Buku ‘Panggung Sejarah: Wakaf Tanah Milik’ : “Dengan berakhirnya Kerajaan Kediri di bawah dinasti Girindrawardana sebagai penerus Kerajaan Majapahit, maka berakhirlah kerajaan Majapahit. Pada tahun 1546, Pasuruan masuk Islam setelah didatangi Pangeran Trenggono, Sultan kedua Kerajaan Demak”.
Sementara menurut H.J.de Graaf dalam buku ‘Awal Kebangkitan Mataram’, pada tahun yang sama Pangeran Trenggono terbunuh. Tidak dijelaskan apakah terbunuh di Pasuruan atau di tempat yang lain sehingga sejarah tentang Pasuruan sangat membingungkan.
Saat ini, di museum ‘Marquis Cristino Bevilacqua’ di kota Ferrara Italia tersimpan 23 lembar daun lontar yang disebut kropak-ferarra, ditulis dalam huruf Jawa Kuno, berisi catatan sarasehan ‘walisongo’. Daun lontar tersebut ditemukan oleh misionaris Katholik Roma pada tahun 1598 di kota Pasuruan.
Sejarah ‘Walisongo’ itu sendiri sering disalah-fahami, dan tidak banyak yang tahu bahwa sebenarnya ‘Walisongo’ itu sendiri dikirim oleh Sultan Muhammad I Turki, bertahap dalam 6 angkatan, dari tahun 1404 hingga tahun 1478. Angkatan pertama hingga angkatan ke empat terdiri dari ‘ulama’ Timur Tengah, baru kemudian angkatan ke 5 muncul ‘wali’ Sunan Kalijogo dari Jawa. (Ibnul Bathutah, Kanzul ‘Ulum, dalam Hasanu Simon, ‘Misteri Syeh Siti Jenar’). Para da’i dalam setiap angkatan berjumlah 9 orang itu oleh orang Jawa disebut ‘Wali-Songo’. Mereka tidak saja mengajar ‘ngaji’ tetapi juga berda’wah bil-hal dengan contoh perilaku, dengan karya nyata. Tercatat masing-masing juru da’wah itu mempunyai keahlian yang berbeda; ahli pertanian’ irigasi’ pengobatan, ekonomi, dan lain sebagainya.
Dengan kejadian-kejadian tersebut kita dapat menarik hubungan-hubungannya, sekaligus menyimpulkan bahwa jauh sebelum Trenggono meng-Islam-kan orang Pasuruan, penduduk pesisir telah memeluk Islam sejak lama. Mungkin yang dimaksud ‘penduduk Pasuruan’ yang di Islamkan itu penduduk yang berdiam di lereng-lereng gunung. (diduga daerah Winongan), bukan penduduk yang bertempat tinggal di pesisir.
Kumpulan catatan-catatan lepas ‘Morfologi Budaya Kota Pasuruan’ yang saya buat (buku tentang Pasuruan tidak ada di toko buku) guna pembuatan kurikulum, silabus muatan lokal bagi siswa SMA Negeri I Pasuruan, menuntun kita bahwa sejarah kota Pasuruan sama tuanya dengan penyebaran penduduk ke seluruh bumi setelah manusia untuk pertamakalinya mengenal peradaban. Kemudian materi pelajaran ‘budaya’ untuk siswa SMA Negeri I Pasuruan tersebut saya sistematiskan dalam bentuk buku “Satu Perahu Tiga Agama” (belum diterbitkan). Para pengembara, dari negeri-negeri Muslim, Hindu, Budha yang berlabuh di bandar Pasuruan, yang kemudian berpisah ke tujuan masing-masing. Patut diduga (memerlukan penelitian lebih lanjut) bahwa era Kahuripan, Kediri, Singosari, pada abad ke 10 atau abad sebelumnya, para pendahulunya transit di bandar Pasuruan. Mungkin kakek-buyut Ken Arok adalah imigran dari India melalui bandar Pasuruan. Ken Arok sendiri pemuja Hindu-Syiwa.
Penumpang yang beragama Hindu dan Budha meneruskan pengembaraan dalam rangka mencari ‘nirwana’ ke dataran yang lebih tinggi. Indikatornya adalah bahwa bangunan-bangunan Candi selalu berada di daerah pegunungan. Sedangkan penumpang yang beragama Islam menetap di pesisir-pesisir kota Pasuruan. Hal inilah yang menjadi dugaan kuat bahwa penduduk Pasuruan sudah memeluk Islam dari awal jauh sebelum Trenggono datang ke Pasuruan.
Dalam catatan sejarah, Pasuruan adalah kota misteri. Tidak ada catatan raja-raja, tidak ada nama-nama penguasa yang secara ajeg jumeneng di Pasuruan. Pasuruan adalah kota tak bertuan. Suatu masa Pasuruan dikuasai raja-raja Madura, Pangeran Pekik dari Surabaya, dan pada tahun 1617 di kuasai oleh Sultan Agung dari kerajaan Mataram. Kekuasaan dinasti mataraman (priyayi) getarannya terasa hingga saat tulisan ini saya buat, walaupun matarantai penguasa dinasti-budaya ‘mataraman’ sejak Sultan Agung dipotong oleh orang ‘asli’ Pasuruan; Aminurokhman, dan Pujo Basuki. Tetapi menurut pengertian ontologi, budaya kepriyayi-an dilingkungan birokrasi masih sangat kental.
Hegemoni, dominasi dan subordinasi selama ratusan tahun tahun lebih dari cukup untuk membuat ‘komunitas asli’ berjiwa kerdil, apatis, bodoh dan dalam kajian saya (1987) terhadap perilaku sosial, masyarakat ‘asli’ Pasuruan bersifat yahanno (hipokrit, artifisial, abang-abang lambe, pura-pura), tidak berani mengatakan ‘tidak’ dengan suara lantang. Sebagai ilustrasi perlu kami informasikan (maaf), banyak pedagang es, bakso ‘asli’ Pasuruan yang selama bertahun-tahun tidak mendapat gangguan, tetapi ketika para pendatang menyerbu Pasuruan, ‘orang asli’ tidak memperoleh tempat yang layak karena ‘dipinggirkan’ oleh pedagang pendatang. Dalam kesempatan dialog, mereka selalu mengatakan dengan ‘enteng’; sudah takdirnya mas.
Kota Pasuruan menjadi ‘kota tak bertuan’ sejak kejatuhan Malaka ke tangan Portugis di bawah pimpinan d’Albuquerque. Onghokham menulis, hilangnya pelabuhan transito Malaka pada tahun 1512 segera dirasakan akibatnya. Dengan jatuhnya Malaka seluruh organisasi perdagangan intern nusantara ikut runtuh. Dengan demikian kota-kota diseluruh pesisir Utara Jawa seperti; Cirebon; Demak; Kudus; Jepara; Tuban; Gresik; dan Pasuruan ikut jatuh pula (Onghokham, ‘Merosotnya Peranan Pribumi’, Prisma 8, Agustus 1983).
Sebelumnya, bandar Pasuruan yang menurut catatan orang Portugis disebut Tanjung Tembikar adalah kota yang paling hiruk-pikuk dalam perdagangan nusantara. Produk-produk unggulan yang berupa tembikar menjadi komoditi ekspor Pasuruan ke Malaka.
Pertanyaan-pertanyaan tentang mengapa jejak-jejak sejarah seperti artefak, situs-situs, bangunan-bangunan sebelum periode Mataram tidak berbekas di Pasuruan? Seperti yang menjadi kelaziman catatan sejarah, bahwa bukti-bukti sejarah ‘selalu’ mesti harus ada bangunan-bangunan candi dan lain sebagainya?
Ciri-ciri kota bandar salah satunya adalah manusia di kawasan tersebut bersifat mobil, bepergian dari daerah satu ke lain daerah lainnya. Rumah tempat keluarga mereka bersifat semi permanen. Hal ini diduga karena material bahan bangunan berupa bambu dan kayu sangat berlimpah, dan bahan-bahan bebatuan untuk keperluan bangunan tidak tersedia, tidak seperti bangunan-bangunan di Yunani, Romawi, maupun bangunan candi di daerah pegungungan. Bahkan Kerajaan sebesar Majapahit, menurut catatan Ma Hua, sekretaris Ceng Ho tidak semegah istana Tiongkok Tien A Men, tidak semegah dan seindah istana El Hambra Spanyol Islam yang didirikan pada abad ke-7, itu berarti 500 tahun sebelum Mojopahit. Istana Raja Majapahit bertembok batu-bata tingginya 3 zhang (9,3 meter) dan lingkarannya kurang lebih 200 kaki panjangnya, genting istana terbuat dari papan kayu keras yang bercelah-celah. Dan sang Raja tidak naik kereta-kencana seperti yang divisualisasikan anak-anak SMA dalam karnaval ‘tujuh-belasan’ tetapi naik ‘cikar’ yang ditarik oleh dua ekor sapi (Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho, Pustaka Populer Obor, Jakarta 2005, hal. 103-104).
Sejak penguasaan pelabuhan transito Malaka oleh Portugis, penduduk Pasuruan tidak lagi berdagang. Mereka beralih ke pertanian sawah dengan membuka lahan-lahan baru ke arah selatan timur maupun ke arah selatan barat. Selama ratusan tahun hidup dalam lingkungan budaya sawah, pasif, ‘nrimo ing pandum’. Oleh karena itu ketika kurang lebih 200 tahun kemudian sejak kejatuhan Malaka 1512, Mataram Sultan Agung merebut kota Pasuruan pada tahun 1617, praktis tidak ada perlawanan yang berarti.
Ekspansi melawan raja-raja pesisir, Sultan Agung berperang habis-habisan setelah kekalahan dan amukan tentara Madura di Pamekasan dan Sumenep, Mataram memperkuat tentaranya dengan menambah 80.000 prajurit. Catatan Daghregister 22 Agustus 1624 melaporkan, ‘hampir tidak ada orang selain Sri Baginda dan beberapa wanita’. Sawah-sawah kering karena tidak ada laki-laki yang mengairi sawah. Juga tidak ada kapal-kapal untuk mengangkut beras ke Batavia, karena semua kapal dikerahkan untuk perang. Seluruh pasukan diduga berjumlah 160.000 prajurit. Akhirnya Madura pada Agustus 1624, Surabaya, Arosbaya, Gresik, Tuban, Sidayu menyerah pada 27 Oktober 1625 (Leupe, Gezantschap, hal.14 &29. Dalam H.J.De Graff, hal.118).
Masyarakat ‘sawah’ kota Pasuruan yang berbudaya ‘santri’ sejak 1617 kedatangan tamu budaya baru yaitu budaya priyayi (Mataraman). Sultan Agung menempatkan birokrat-birokrat untuk urusan pemerintahan kepada kerabatnya yang berdarah ‘biru’ sampai pada dinasti Kanjeng Pengeran. Dalam periode ini mulai berkembang komunitas baru (priyayi) di wilayah wilayah sepanjang kali gembong. Dan yang di kawasan Barat (sungai Kraton) adalah wilayah komunitas ‘asli santri’.
Dalam buku “Familie Nitiadiningrat” menceritakan seorang bernama Kyai Ngabei Wongsonegoro mengambil ‘muka’ kepada Belanda, kemudian menghadap Commandant Reyniers yang berkedudukan di Surabaya. Yang intinya sanggup mengusir keturunan Suropati di Pasuruan. Setelah keturunan Suropati berhasil diusir ke Malang, Kyai Ngabei Wongsonegoro dijadikan bupati Pasuruan ber ‘juluk’ Kyai Tumenggung Nitinegoro, dan diberi bonus seorang putri (selir Susuhunan Pakubuwono sendiri) yang sedang mengandung tujuh bulan. Bonus istri ini tidak boleh di-kumpul-i Tumenggung, oleh karena itu ‘diamankan’ di Kraton (daerah Karang Ketuk sekarang). Hadiah sekaligus ‘istri titipan’ itu bernama Raden Ayu Beri, yang konon menurut dongeng , Mbah Slagah pernah disuruh bersembunyi oleh Raden Ayu Beri di balik bakalane sewek (Raden Ayu waktu sedang mbatik) untuk mengelabui serdadu-kompeni Belanda.
Sudah menjadi budaya raja-raja sinkritik Jawa, perkawinan politik dilakukan untuk mempertahankan kemurnian trah darah biru. Dalam kasus Kyai Ngabei Wongsonegoro, pola perkawinan agak menyimpang, namun patut diduga tujuannya adalah yang berkuasa di Pasuruan adalah trah darah-biru Mataram. Terbukti kemudian bahwa Susuhunan wanti-wanti, apabila Raden Ayu Beri melahirkan anak laki-laki, maka anak itu berhak menjadi bupati Pasuruan. Malang tidak dapat ditolak, untung tidak dapat diraih. Raden Ayu Beri melahirkan anak laki-laki diberi nama Raden Grudo bergelar Raden Bagus Ingabei Sumodrono. Ketika berumur 11 tahun Raden Grudo dilantik menjadi Bupati pada tanggal 27 Juli 1751 dengan nama kebesaran Adipati Nitiadiningrat.
Masih menurut buku ‘Familie Nitiadiningrat’, Bupati Nitiadiningrat kemudian dikenal dengan nama Kanjeng Pengeran. Bupati Pasuruan ini menganut faham mono loyalitas, tentu saja sangat loyal kepada Pemerintahan penjajah Kompeni Belanda. Berkat kegigihannya melawan keturunan Suropati, Kanjeng Pengeran dianugerahi bintang kesatria Nederlandschen Leeuw dari Commissaris General Sebastian Cornelis Nederbugh. Bintang kehormatan itu pernah diberikan juga kepada Sayid Usman bin Abdallah al-Alawi karena berjasa melarang kaum Mohammaden (muslim) ‘perang sabil’ terhadap pemerintah Kolonial Belanda, karena saat itu banyak haji-haji yang menjadi terorist menteror pemerintah penjajah. Dalam buku kecil yang ditulisnya ‘Manhaj al-Istiqoomah fii ‘d-diin bis-salaamah’ berbunyi; usaha mengadakan apa yang dinamakan “perang sabil” (terminologi ‘jihad’. pen.) atau perang suci tidak ada syaratnya mutlak di negeri ini’ (Nasehat-Nasehat C.Snouck Hurgronye Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Seri Khusus INIS, Jakarta, 1994, hal. 1626-1627).
Eksistensi kota Pasuruan yang berdaulat sejak kurang lebih abad ke-10 dan berakhir pada awal abad ke-16 (Kejatuhan Malaka tahun 1512), atau kurang lebih 512 tahun lamanya. Setelah itu, kurang lebih 497 tahun lamanya (tahun 1512 hingga tahun 2009) praktis kota Pasuruan menjadi kota yang tidak ‘bertuan’. Selaras dengan perkembangan zaman, yaitu dipilihnya kawasan-kawasan yang bernilai ekonomis, dipilihnya Surabaya, Semarang, Ujung Pandang, Jakarta, berakibat performa kota Pasuruan semakin tidak jelas peranannya. Yang terakhir Pemerintah Kolonial Belanda memindahkan ibokota Karesidenan dari Pasuruan ke kota Malang pada tahun 1928, semakin menambah sempurna ke-terlantar-annya. Secara sosio-politik kota Pasuruan juga ditinggalkan oleh ‘warga-asli’-nya, warga ‘asli’ yang terdesak ke pinggir, apatis, bersikap yahanno (hipokrit). Sementara penguasa-penguasa ‘mataraman’ sibuk me-reproduksi-nilai budaya ‘mataraman’-nya, menjadi sebab sekaligus jawaban mengapa perkembangn Kota Pasuruan tertinggal oleh kota-kota lain seprti Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, yang notabene adalah kota-kota baru dibanding dengan kota Pasuruan.
Ketidak pedulian penguasa kota atau -menderita amnesia sejarah- dengan wajah yang tak berdosa meruntuhkan satu-demi satu bukti-bukti sejarah yang berupa ‘bangunan-bangunan’ arsitektur awal abad ke -18. Tingkat peradaban antara orang Eropa dan orang ‘jawa’ berbeda secara diameteral. Seringkali benda-benda yang dianggap tidak berharga oleh wong-jowo, oleh orang Eropa dianggap berharga dan bernilai tinggi. Naskah-naskah kuno, benda-benda keramat, patung-patung zaman Majapahit, diangkut ke Eropa. Padahal peninggalan sejarah itu adalah sebagai pelajaran bagi anak-anak muda generasi penerus bangsa bahwa, Indonesia, khususnya kota Pasuruan bukanlah ‘kota pupuk-bawang’.
Dan memang, Pasuruan adalah kota tidak bertuan. Pasuruan adalah kota ‘tambang-emas’ seperti California di awal abad 19 sehingga banyak orang Eropa berdatangan ke Amerika.
Suka atau tidak suka kita harus mengakui bahwa kota ini (Pasuruan) telah memberikan begitu banyak kemakmuran bagi para elite pendatang.
Bagaimana? Ada keinginan untuk membalas jasa, atau semacam melu handarbeni, merasa ikut ‘memiliki kota’ dengan membangun kota Pasuruan secara profesional, ikhlas, dan tanpa yahanno? InsyaAllah! Amin!
sumber :
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar